Senanders pasti relate, di usia 20-an hidup akan terasa kayak lagi lari tanpa tahu titik finish. Kelihatannya semua orang udah punya kehidupannya masing-masing. Buka Instagram teman upload story nikahan, punya anak, atau bahkan lagi travelling keliling dunia. Buka LinkedIn si A baru lulus kuliah, nilai cumlaude, dan dapat beasiswa S2 di luar negeri. Si B dapat kerjaan keren dengan gaji dua digit. Sedangkan kita? Rasanya kok masih gitu-gitu aja.
Usia 20-an emang masa peralihan paling kocak dan menguras tenaga. Absurd, bukan lagi remaja, tapi belum juga sepenuhnya dewasa. Makanya, ada istilah quarter-life crisis, atau yang kali ini akan kita bahas sebagai quarter-life tantrum. Apakah wajar kita merasa hilang arah? Apakah normal kita ngerasa capek dan perlu istirahat? Apakah benar hidup kita cuma gitu-gitu aja? Let’s hug each other and let us uncover this one step at the time.
Apa sih quarter-life tantrum?
Basically, ini adalah istilah quarter-life crisis. Seperti yang sudah kalian pahami bahwa ini merupakan situasi bingung dan masa galau yang terjadi di usia 20-an. Tapi, khusus untuk Gen Z sepertinya akan lebih relate kalau kita sebut sebagai quarter-life tantrum. Karena apa? Karena buat gen Z, usia 20-an isinya bukan cuma krisis, namun juga udah di tahap ada emotional explosion yang sering terpendam. Ini semua karena kita sebagai Gen Z memiliki tantangan era yang lebih kompleks.
Kita dihadapkan sama banyak banget pilihan, perubahan, serta ekspektasi. Usia 20-an harus mapan, harus produktif, harus punya passion A-Z, harus adaptif, terus juga dituntut selalu bahagia nggak boleh ngeluh dengan alasan “Gen Z hidup dalam kemudahan teknologi dan kenyamanan zaman, malu kalau ngeluh.”
Padahal kan…. Ya capek jugaa bro, aelah!! Thus, sometimes kita ngerasa drowning atau butuh someone to talk. Jadi, kondisi ini yang kita sebut sebagai quarter-life tantrum.
Apa aja skema penyebab quarter-life tantrum?
1. Tekanan sosial di era serba cepat.
Yaps! Kita emang hidup dalam kenyaman. Teknologi canggih bahkan akses informasi yang super gampang. That’s all a privilege for us. However, it could be TOXIC kalau kita nggak bijak dalam menghadapinya. Kayak yang udah kita singgung di awal, kita hidup di zaman apa-apa diumumin di sosial media. Kayak di Instagram misalnya. Temen lulus kuliah, upload. Dapet kerjaan impian, upload. Nikah, upload. Punya anak, upload. Beli rumah, upload. Bahkan, pergi mandiin kucing peliharaannya pun kadang di upload. Tentu itu semua normal. Toh itu platform masing-masing. Kita sendiri juga bisa melakukan hal yang sama sebetulnya. Namun, yang jadi masalah adalah: kita merasa “nothing.” Dari situ kita tanpa sadar bisa jadi overthinking. Ujungnya kita merasa ketinggalan jauh atau kalah dari teman-teman kita. Padahal hidup bukan kompetisi. Yang ada, kita itu cuma FOMO (Fear of Missing Out) bikin semua terasa darurat.
2. Banyak pilihan, tapi bingung start dari mana.
Sebagai Gen Z kita disiapkan untuk segala hal. Seakan-akan, kita tuh harus bisa semua. Generasi kita bisa jadi apa aja, mengingat segala kemudahan yang menyertai kita. Namun, kita juga bisa jadi gagal di mana aja. Kenapa? Ya lagi-lagi karena kemudahan yang serba ada. Terkadang kita perlu ngerasa hati-hati dalam melangkah. Mau kerja? Kuliah lagi? Freelance? Jadi ini? Jadi itu? BINGUNG. Akhirnya, kita cuma overthinking, takut salah ambil keputusan, dan justru nggak melangkah sama sekali. Solusinya hanya satu, kenali diri sendiri lalu tekuni apa yang membuat kamu paling bahagia.
3. Ekspektasi kanan kiri.
Ada banyak opsi juga malah membuat Gen Z kejatuhan pressure dan ekspektasi kanan kiri. Jadinya FOMO lagi FOMO lagi. Harus sukses di usia 20, punya kerjaan mentereng, dan hidup stabil. Padahal kenyataannya, bisa jaga pola tidur biar nggak ngawur aja udah luar biasa. Hal-hal kecil seperti itu juga layak disebut keberhasilan, at least berhasil untuk diri sendiri. Of course that’s all okay.
FOMO emang nggak sepenuhnya buruk, justru kadang bisa jadi pemacu biar kita berkembang dan terus belajar untuk mencapai “best version” diri sendiri. Tapi, kalau nggak di-handle dengan sehat, udah deh, jadi buyar! Dari yang awalnya semangat, malah jadi stress. Dari motivasi, berubah jadi pressure. Dan di situlah awal mula “tantrum” itu muncul. Emosi yang meledak karena merasa diri kecil dan gitu-gitu aja. Jadi, gentle reminder untuk kita semua; be kind to yourself.
Pelukan untuk yang lagi di fase quarter-life “tantrum” crisis!
Apa yang biasanya dirasain selama fase ini?
- Ngerasa stuck dan bingung harus ngapain.
- Ngebandingin hidup dengan milik orang lain.
- Overthinking 24/7, tapi nggak ngapa-ngapain.
- Sering ngerasa kayak “capek jadi manusia.”
- Suka nyalahin diri sendiri atas hal-hal yang diluar kontrol.
Kalau kamu lagi ngerasain hal-hal itu, artinya kamu manusia normal yang lagi bertumbuh, BUKAN GAGAL! Usaha kecil yang bisa kamu lakuin untuk menghadapinya adalah:
- Tulis definisi “sukses” versimu.
Sukses itu relatif, nggak harus sesuai standar orang-orang. Make your own!
- Breakdown goal jadi lebih terukur.
Instead of saying “aku harus sukses sebelum 30” mungkin akan lebih baik buat goal yang terukur, misalnya: bulan ini mau baca 1 buku, minggu ini mau olahraga minimal 30 menit sehari, dan hal lain yang kecil namun bermakna dan konsisten.
- STOP! Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain.
Temanmu sedang berada pada jalannya, and so you are.
- Jadilah support system terbaik untuk diri sendiri.
Meskipun kadang kita merasa semua orang jauh dari kita, seenggaknya kamu harus bangga dan berterimakasih pada diri sendiri.
- Pelan aja, tetep jalan.
Nggak harus langsung tahu mau apa. Yang penting kamu nggak menyerah. 0,01% yang kamu lakukan setiap hari adalah sebuah pencapaian.
Quarter-life tantrum itu tanda kamu sedang naik level. Di sana kamu sedang ngebentuk versi baru dirimu yang lebih gokil kedepannya. Kalau detik ini kamu rasa “hidup ngapain sih sebenernya?” Santai, kamu nggak sendirian. Kita akan saling menguatkan dan kamu nggak akan pernah nyerah. Kamu, aku, dan kita semua akan segera menemukan jawaban dari semua ini. Terus berdoa, berusaha, bahagia, dan percaya. Jangan bandingkan diri dengan orang lain. Walaupun hari ini kamu bangun pagi dan merasa hidupmu masih sama aja, belum ada kemajuan, belum sampai pada tujuan. Trust me, kamu sedang berjalan. Jangan berpikir untuk menyerah, karena kita nggak pernah tahu di doa mana atau di usaha yang mana Tuhan akan menjawab semua kebingungan kita. Big hug!
Sumber:
Agustiarini, R. (2023). Quarter Life Crisis: Exploring the Challenges and Coping Strategies of Young Adults in Their Twenties. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 8(10), 5632-5638.
Imelda Iza Afkarina - CW Batch 4