Inner Child: Kita yang Lalu Untuk Kita yang Sekarang

 

Kalau seandainya kamu punya kesempatan buat ketemu versi masa kecilmu, apa yang mau kamu ucapin ke dia? Apakah kamu akan meminta maaf? Atau mungkin, berterima kasih? Kali ini kita bakal ngobrolin inner child, yaitu sisi anak-anak dalam diri kita yang menyimpan memori, emosi, serta pengalaman-pengalaman sejak masa kecil. Lebih dari sekedar ngebahas definisinya, kita akan coba berbicara tentang gimana sih ngaruhnya si inner child ini terhadap self-development kita di masa dewasa.

Specifically, terhadap cara kita membangun relasi atau hubungan dengan lingkungan sosial.

Kadang mungkin kamu pernah ngerasa sensitif akan segala hal. Kayak ngerasa mudah baper sama omongan orang, suka takut ditinggalin, dan kekhawatiran-kekhawatiran lain yang bikin kamu capek sendiri. Nah, bisa jadi bukan karena kamu itu anaknya lebay. Tapi, karena ada bagian tersembunyi dalam diri yang “belum sembuh.” Itu dia si sosok inner child. Intinya, si inner child tuh semacam versi kecil kita yang masih ngebawa emosi berlarut-larut. Entah karena dulu kurang didengar, sering dikucilkan, atau mungkin dituntut untuk selalu jadi sempurna di lingkungan toxic berkedok rasa sayang.

Kesannya, inner child itu adalah bagian diri kita yang masih “nggak selesai urusannya.”  Kata psikologi, luka masa kecil gini tuh akan sangat berpengaruh sama cara kita bertumbuh dan membangun relasi (bersosialisasi) dalam hidup seterusnya. Misalnya, ngefek ke cara ngejalin hubungan sama temen, keluarga, pasangan, bahkan rekan kerja. Makanya, penting banget buat kita kenalan sama sosok inner child kita masing-masing. Tujuannya apa? Untuk berdamai. Mungkin tidak akan selesai, tapi setidaknya, ketika telah berdamai dengannya, kita bisa lebih baik dalam usaha self-development untuk kehidupan dewasa.

Sosok Diri Cerminan Attachment Style

Pas kecil, cara kita berhubungan dengan lingkungan a.k.a pengasuhan orang tua, atau pola kita dibesarkan, itulah yang dikenal sebagai attachment style. Nah, ini biasanya akan kebawa sampe kita dewasa. Ada banyak dan detail banget soal ini dibahas secara psikologi. Namun, di sini kita coba bahas singkat aja. Berikut jenis-jenisnya:

1.   Secure attachment: ngebentuk kita bisa gampang deket sama orang lain tanpa kekhawatiran ditinggal dan tanpa terlalu bergantung.

2.   Anxious attachment: biasanya bikin kita agak mudah cemas, overthinking, dan baperan.

3.   Avoidant attachment: ngejadiin kita susah buka hati buat siapapun, takut secara emosional.

4.   Fearful-avoidant attachment: ini udah campur aduk banget; ngerasa mau bangun relasi tapi juga ada rasa takut di dalamnya.

Dilansir dari artikel Verywell Mind, pola perkembangan ini juga bisa dibentuk dari pengalaman kita dibesarkan. Contoh, dulu pas kecil sering dimarahin tiap nangis, sekarang kamu mungkin suka mendem emosi karena takut dibilang lemah atau takut membebani orang lain kalau bercerita.

Sebagai Gen Z kita harus mulai lebih aware sama diri sendiri. Mungkin jika saat ini kita insecure, overwhelmed, capek sama hidup, atau mungkin lagi ngerasa stuck. Bisa aja itu bukan karena faktor eksternal, tapi karena kita belum selesai dengan diri sendiri. Sosok anak kecil di diri kita yang penuh luka; kayak dulu sering dibanding-bandingin, dituntut sempurna, dikucilkan, dipaksa nurut, tidak didengar, atau segala luka lainnya. Semua nge-lead kita untuk “terjebak” dan sering ngerasa diri nggak cukup layak untuk diterima secara sosial. Jadilah kita susah untuk berkembang. Salah satu penelitian dari Stanford University nunjukin kalau Gen Z considered menarik diri dari society karena ngerasa kayak “no one will understand me.” Padahal, ngebangun interaksi sosial yang sehat justru ningkatin mood dan mental stability. Bagus buat pengembangan diri.

Healing Inner Child – First step Punya Relasi Sehat

Sebelum berharap punya “self-development” yang berhasil, kita perlu kenal dan berdamai dengan segala diri kita. Nggak harus langsung terapi ke psikolog atau psikiater kok; tapi kalau diperluin dan bisa, ini dianjurkan banget ya! Anyways, mulai dari hal-hal yang keliatannya sepele dan mudah terlebih dahulu. Contohnya:

1.   Journaling. Yups! Nulis. Dengan menulis atau ngejurnal ini kamu bisa meluapkan segala perasaanmu dengan bebas. Bisa kayak sesederhana menanyakan “how was your day?” pada diri sendiri. Nggak perlu aesthetic yang penting kamu merasa nyaman dan segala unek-unekmu tersampaikan.

2.   Self-talk. Jadilah sosok ternyaman dan ruang teraman untuk diri sendiri. Biasakan berkata baik pada dirimu, because you are what you think.

3.   Sharing terbuka – ngobrol. Cobalah untuk terbuka pada sekitar. Cobain buat saling mendengarkan juga agar perspektifmu lebih terbuka. Nggak usah dipaksa, Jalani semua selangkah demi selangkah.

Kalau beberapa hal tadi masih agak sulit, nggak masalah. Mungkin bisa kita coba hal yang lebih sederhana lagi untuk berdamai dan healing inner child. Misal, beli barang yang dipengen waktu kecil; bisa sesederhana beli ice cream, action figure (mainan), atau hal kecil lain untuk mengisi nostalgia. Bisa juga nonton kartun lama biar ngerasa nyaman. dilansir dari salah satu artikel Elle India, hal-hal ini bukan childish, ini merupakan bagian dari proses self-soothing.

Memaksimalkan Proses “Self-development” Berdamai Dengan Inner Child

Seperti disclaimer di awal. Tujuan kita tahu tentang inner child adalah untuk berdamai. Harapannya, agar kita bisa memaksimalkan proses berkembang kita di kehidupan seterusnya. Yaitu, adult life. Biar nggak toxic ke diri sendiri maupun ke society. Pertama, kenali dulu pola attachment. Refleksi attachment style gini bisa bikin kita tau apa yang sebenarnya jadi penyebab emosi.

Kedua, belajar komunikasi asertif. Bilang semua perasaan secara jujur, baik ke orang lain atau juga ke diri sendiri. Ketiga, mulai catching up dengan small circle yang positif biar punya “someone to talk.” Dari sini kita bisa pelan-pelan bangun kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap society.

Terakhir, mulai hadir secara nyata di kehidupan. Caranya gimana? Detox digital. Kurangi dumb-scrolling sosial media. Emang sih ini bisa jadi hiburan instan, tapi bisa bikin otak kita rentan overstimulated (Huang et al, 2025). Hayoo!!! Siapa di sini yang chronically online? Penelitian tersebut juga bilang, ternyata 20% Gen Z tuh bahkan masuk kategori problematic social media use. So, bukan nggak boleh main sosmed, cuma wajib bijak.

Alright, yang namanya inner child itu bukan kelemahan kita. Tapi justru bagian yang perlu kita peluk, dingertiin, dan diusap lukanya agar sakitnya tidak menghambat perjalanan tumbuh selanjutnya. Semakin baik kita kenal dan damai sama diri sendiri, akan menjadi jalan kepercayaan diri, penerimaan, serta bentuk “berkembang” yang sehat. All of us deserve segala kebaikan. Thus, untuk memulai kebaikan itu, mulailah dari mengerti diri sendiri. Mari peluk diri sendiri lebih erat dan lebih sering lagi. Love, Senanders!

Sumber:

Cherney, K. (2022). Attachment styles: What they are and how they affect relationships. Verywell Health. https://www.verywellhealth.com/attachment-styles-5220583 (Diakses pada 18 Juli 2025).

Huang, L., Yang, F., & Wu, W. (2025). Adult attachment, social anxiety, and problematic social media use: A meta-analysis and meta-analytic structural equation model. Addictive Behaviors, 160, 108163. https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2024.108163 (Diakses pada 18 Juli 2025).

Noviar, T. N. A., Zahra, A. F. A., Putra, R. P., Rachmawati, I., Silfiani, I., & Dewi, R. A. (2025). Self-Healing in Gen-Z Adolescents’: Behind the Scene of Social Media. Komunikator, 17(1), 80-94. https://doi.org/10.18196/jkm.v17i1.25440 (Diakses pada 18 Juli 2025).

Sinha, E. (2025, January 30). How Gen Z’s spending habits reflect healing the inner child. Elle India. https://elle.in/life‑culture/how‑gen‑zs‑spending‑habits‑reflect‑healing‑the‑inner‑child‑8664086 (Diakses pada 18 Juli 2025).

Imelda - CW Batch 4

Senandika Community

Senandika adalah komunitas yang bergerak pada bidang personal growth khususnya self-improvement, leadership skill and career preparation. Senandika adalah kata buatan dari dua bagian yaitu "senada" dan "unik" yang memiliki makna mencerminkan pertumbuhan,keunikan dan dinamika yang berkembang. Kata "nada" menggambarkan peningkatan secara bertahap dalam kekuatan, dimana satu nada saja tidak cukup dan membutuhkan banyak nada untuk membuatnya indah. "Nada" dapat mewakili perjalanan pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang bertahap. Sedangkan, "unik" merujuk pada sifat yang khas, istimewa atau berbeda yang dapat mewakili keunikan setiap individu dalam komunitas. Jadi, secara keseluruhan dapat diartikan sebagai perjalanan keunikan dan pertumbuhan yang menciptakan harmoni dan keindahan, sampai menghasilkan suatu karya yang memukau.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama